Senin, 21 Mei 2012

Antologi Puisi Harian Sunyi (Bab 6)


Kematian Dewa

Menulis aksara sajak kematian
Pada sudut gelap yang menghilangkan bayang-bayang
Aku terpaku pada sehelai sorban sang kiayi
Datang kepadaku
Mengajarkan beribu makna gerak surga

Sajak telaga menghilangkan buritan angin
Hingga musim kemarau kembali lagi
Di epesode yang kesekian kalinya

Apakah kita harus telanjang sebagai manusia
Lalu berdoa dan memuja seperti sedia kala
Ketika zaman dewa-dewa

Rasanya aku tak rela kembali lagi sebagai penganut animisme
Di penghujung dasar beranda kitapun menembang lagu kasmaran:

“ingsun amimitia muji
Anebbut asma yang sukma
Rahman muradun nyakabi
Rahem aseh ing ahera
Eng sakihi kang amaca
La ila ha illahu
Muhammadur rasulullah”

Tapi bukanlah kematian para dewa
Di dadaku raib dan meraka,
Katakanlah yang sebenarnya.

Malang_ Rabu, 11 April 2012



Serapah Jelata

Adalah ragaku yang terpaku pada setiap jalanan musim gelap
Di ujung samudra kumenunggu sukma kembali jadi satu
Setelah kau anggap aku mati bersama isa
Pada bukit tinja, kamipun bersumpah:
1.      Aku adalah rakyat Indonesia, yang kata orang adalah tanah surga, tapi kami tak pernah hidup sejahtera
2.      Indonesia negara kita dan hukumnya Hukum rimba, siapa yang kaya dialah penguasa
3.      Kami bangsa indonesia. Bersatu jargon kita, tapi kami tak pernah merasa bahagia
Di sudut kota dan desa-desa orang mencari asa
Seperti ada yang hilang ditelan masa
Padahal kau tau?
Semua itu ulah pemerintah.

Hormat setiap senin pada bendera
Akupun terbakar hangat ranum buah pisang di ujung senja
Hujanlah kematian saudara-saudara.

Malang_ Rabu, 11 April 2012


Oleh: Dafikurrahman Mashor
Lapataman

1 komentar: