Kamis, 03 Mei 2012

Sejarah Macopat (Versi Madura)



            Macopat dalam bahasa madura dikenal dengan mamaca yang artinya menurut bahasa adalah membaca. Sedangan pengertian secara istilah mamaca merupakan sebentuk kegiatan membaca cerita teks dengan sebuah tembang-tembang. Adapun cerita teks yang dibaca dengan tulisan arab melayu dan menggunakan bahasa jawa kraton, sehingga kalau dibaca dalam perkumpulan atau pertunjukan harus diartikan (e tegges) supaya orang yang mendengarkannya bisa mengerti dengan cerita yang dibacakan. Pembaca macopat tersebut biasanya adalah seorang laki-laki.
            Cerita yang sering dibaca seperti cerita Nabi Muhammad sejak lahir sampai wafat dalam cerita teks hadits, perjalanan Muhammad Rasulullah dalam israk mi’rad dalam cerita teks mi’rad, kisah anak muda dengan ikan raja minah dalam cerita teks mursada, dan lain sebagainya. Cerita teks macopat menggambarkan seorang tokoh teladan yang berjiwa baik agar bisa dicontoh oleh masyarakat secar umum.

            Macopat secara khakikatnya merupakan dakwah yang memiliki unsur seni agar menjadi fleksibel masuk pada masyarakat. Karena masyarakat secara keseluruhan suka terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam seni. Pertama kali macopat diciptakan oleh Sunan Kalijaga dengan cerita-cerita mendidik yang dikemas dalam tembang-tembang yang indah, sehinggah banyak orang tertarik untuk sekedar mendengarkan dan bahkan belajar macopat dengan makna yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu banyak orang hindu budha masuk islam karena memahami secara mendalam pesan yang disampaikan.
            Lama-kelamaan dengan perantara macopat, umat islam semakin bertambah banyak dan macopat mengalami peningkatan dengan munculnya iringan musik-musik gamelan dan seruling.
            Masuknya macopat ke Madura lama ketika para Sunan yang sembilan sudah wafat semua dan orang madura kebanyakan sudah beragama islam. Dengan perantara berdagang antara orang Madura dengan Jawa akhirnya orang madura belajar dengan tujuan menjadi ajang silaturrahmi satu sama lain, tidak tidur (tatang-ngen), tirakat, dan lain sebagainya.
            Ketika masuknya macopat ke Madura sudah tertulis diatas kertas, tinggal orang-orang belajar membaca dan nembang tanpa harus menghafal teks, sehingga dampaknya juga tak begitu baik. Sudah mulai menjadi hal langga di Desa-desa saat sekarang ini orang mau belajar dan membaca macopat tersebut.
            Tembang macopat/ mamaca madura terbagi menjadi dua bagian dintaranya:
  1. Mamaca tembangan
Merupakan membaca cerita teks macopat dengan vokal tinggi, membutuhkan suara yang kuat untu menembangkan dengan menarik-narik tembang dalam cerita tersebut dan menggunakan iringan seruling beserta gamelan.
  1. Mamaca kalenengan
Merupakan pembacaan cerita teks macopat dan vokal yang bisa menyesuaikan dengan sendiri suaranya. Tanpa di iringi musik-musik karena kalenengan cara membacanya tidak di tarik seperti tembangan, sehingga akan rancu kedengaranca bila di iringi musik.
            Macopat terus mengalami perkembangan secara fositif maupun negatif  tetapi manusia cenderung memandang sebelah mata suatu yang indah itu dianggapnya baik, padahal belum tentu. Sama dengan macopat, dulu menjadi ajang unjuk kebolehan suara bagi seorang laki-laki madura. Karena bila suara bagus yang jelas orang akan terterik mendengarnya dan banyak orang-orang tua mau menjodohkan anaknya dengan pemilik suara bagus itu. Dan bahkan lebih gilanya lagi tekadang orang yang sudah punya suami dan anak bisa menjadi gila pada pemilik suara bagus pembaca macopat itu.
            Pernah di sebagian Kabupaten Sumenep Kecamatan Dungkek Desa Lapataman belajar mamaca menjadi kewajiban kedua dari belajar ngaji Al-Quran bagi pemuda Lapataman mamaca memang kewajiban yang harus di pelajari dan pahami. Terlepas dari situ juga terkadang menjadi ajang kompetisi untuk tampil dengan suara yang memukau semua orang lebih-lebih seorang wanita.
            Tetapi sekarang menjadi hal yang sangat ironis di Madura macopat hilang dengan dari kalangan anak muda bahkan juga orang tua, mungkin sudah lebih menyukai tampilan-tampilan yang membodohkan tanpa ada proses pembangunan diri.

Oleh : Dafikurrahman Mashor
Sumenep, 11 juli 1992
Budayawan, Seniman & Sastrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar