Selasa, 12 Juni 2012

Emansipasi Dalam Novel Layar Terkembang Karya St Ali Sahjbana


Tentang Emansipasi Wanita
Emansipasi wanita merupakan gerakan yang dilakukan kaum hawa sebagai persamaan derajat antara wanita dan pria, dalam kaitannya tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan karakter pendiam, teguh pendirian, dan organisatoris. Kaum wanita yang selalu dianggap rendah oleh laki-laki, dengan hadirnya tokoh imajiner Tuti. Tuti mencoba untuk melawan bahwa wanita tidak harus selalu mengalah, maka ada sebuah kalimat menentang kepada bangsa dan kaum laki-laki dalam pidatonya. Segala sifat, segala kecakapan diarahkan menuju perkawinan, menuju pekerjaan mengabdi pada laki-laki (hal. 46).

Kaum wanita sangat tidak ada artinya di mata kaum laki-laki. Maka dengan sebuah karakter tokoh Tuti. Sutan Takdir Alisjahbana mencoba ingin melawan paradigma terbalik bangsa kita, khususnya kaum laki-laki yang selalu memperlakukan wanita tidak bedanya dengan benda mati yang bisa diotak-atik semaunya.
Maka sangat menarik untuk kita kaji bersama tokoh imajiner Tuti yang mempunyai adik kandung namanya Maria. Mereka anak Raden Wiriatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup pensiunan di Jakarta Bersama kedua anaknya itu.
Kedua saudara kandung antara Tuti dan Maria mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, dengan gambaran awal yang digambarkan seorang pengarang bahwa maria yang gampang kagum pada suatu hal dan dia sendiri belum tau hakikatnya. Sedangkan Tuti. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebabab ia jarang memuji (hal. 3). Itulah kalimat pengarang untuk menggambarkan karakter tokoh Tuti.

Konsep Pengarang Terhadap Emansipasi Wanita
Emansipasi wanita yang dulu pernah dideklarasikan oleh Raden Ajeng Kartini membuka cakrawala imajinasi tersendiri bagi seorang pengarang untuk merangkai kata menjadi sebuah karya sastra, dalam hal ini adalah Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Mencoba mendobrak paradigma terbalik masyarakat tentang seorang wanita yang selalu dianggap sebagai tawanan dalam penjara, tidak bisa bergerak semau kata hatinya, mereka selalu dituntut laki-laki (suaminya) untuk menuruti apa yang dia inginkan. Sehingga STA memunculkan tokoh imajiner Tuti dalam novelnya sebagai bentuk keritikan kepada bangsa, budaya, dan laki-laki khususnya. Maskipun STA sendiri seorang laki-laki, dia tidak mendekotomiskan antara laki-laki dan wanita, tapi siapa yang melakukan tindakan merugikan itulah yang salah.
Maka emansipasi wanita harus di tegagkan di berbagai penjuru bangsa, sebagai pemahaman kepada kaum hawa yang masih tertindas atau belum merdeka karena kaum laki-laki. Jadi STA memunculkan suatu konsep baru dalam novelnya untuk merefolusi perbedaan yang sengaja dianut kaum laki-laki untuk memperlakukan wanita sebagai budak, dan laki-laki adalah rajanya.
Kemudian dihadirkannyalah tokoh Tuti anak Raden Wiriatmaja dengan umur dua puluh lima tahun yang menjadi organistoris penggerak emansipasi, sehingga dalam pidatonya ada bentuk perlawanan yang dimunculkan.
“Hitam, hitam sekali penghidupan permpuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apbila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya” (hal. 41).
Potongan pidato Tuti diatas menyindir kaum laki-laki dengan bentuk perlakuanya yang terkadang memposisikan kaum wanita adalah orang terpuji ketika seorang laki-laki membutuhkannya, tapi katika kebutuhannya selesai seorang laki-laki akan mencari yang lain dan akan membuangnya kembali jika sudah bosan. Lantas bagi kaum laki-laki apa arti seorang wanita kalau tak ubahnya dengan sebuah sepatu, sudah bosan atau rusak dibuang lalu beli yang lain. Kesenjangan itulah yang dicoba ditentang oleh Tuti.

Dafikurrahman Mashor
11 Juli 1992

1 komentar: